Jumat, 16 Januari 2009

Cerita KU

tak selalu kejadian buruk membawa suatu keburukan, semua tergantung dari sudut mana kita memandang, aku banyak belajar dari pengalaman, simak saja kisah ku...

24 July 2008

PENANTIAN PANJANGKU

Sebenarnya aku bingung, dari mana harus memulai menceritakan kisah ku ini, suatu cerita yang aku sendiri pun belum dapat menerka bagaimana ia akan berakhir.
Suatu siang, di pertengahan bulan mei, ketika itu para calon president eksekutif mahasiswa di kampus ku begitu ramai berkampanye, memajang seluruh atribut dan fto, melakukan konfoi & arak-arakan menelusuri jalanan kampus, serta meneriakkan orasi dan janji-janji yang memekak kan telinga bak calon pemimpin Negara saja.
Aku dan beberapa temanku berjalan menuju ruang F 2.10, akan ada kuliah kalkulus disana. Jurusan Teknik Pertanian yang aku ambil memang mengharuskan seluruh mahasiswanya memahami ilmu itu, untuk kemudian dapat di aplikasikan sesuai kebutuhan.
Hari itu kampus terlihat begitu ramai, sorak-sorakan orang berkampanye pun terdengar dari dalam ruang. Ruang F 2.10, yang terletak di lantai dua Fakultas Teknologi Pertanian, tempat ku memperdalam ilmu, tepat di depan mulut tangga, mungkin hanya berjarak 3-4 meter.
Tangga terakhir sudah kulalui, aku melihat dua orang asing yang tak biasa terlihat di kampus berdiri tepat di depan pintu, entah sedang mengobrolkan apa, namun aku melihat mereka tengah asik bercengkrama dengan salah satu teman sekelasku.
Itu, kali pertama aku bertemu dengan nya, hm... tapi tak begitu jelas, karena hanya sekilas, kemudian aku berjalan memasuki ruangan, berjalan di antara mereka dan sejenak mengucapkan kata “permisi” sehingga memotong obrolan yang masih mereka lakukan tepat di depan pintu.
Ku ambil posisi, duduk di kursi paling depan, seperti biasa, dan menaruh tas di atasnya. Ternyata dosen belum datang, pantas saja suasana kelas begitu ricuh. Berdiam sejenak, tiba-tiba keberadaan dua orang asing itu terlintas di ingatan ku. Bertanya pada diri sendiri, ”siapa mereka?” dan ”mengapa mereka disini?” memang bukan urusan ku sih, tapi entah mengapa aku begitu tertarik mengetahiu jawaban pertanyaan-pertanyaan itu.
Pikiran usil pun datang, dan kebetulan aku melihat Dedy, pemimpin redaksi sebuah media yang sedang aku kerjakan sebagai salah satu syarat menjadi anggota Lembaga Pers Mahasiswa di tingkat fakultas, dengan sedikit berteriak ku panggil saja dia, kemudian dengan dalih bertanya tentang media itu ku ajak Dedy mengobrol, tepat bersebelahan dengan kedua orang asing itu.
Saat itu lah ku curi-curi pandang dan curi-curi dengar, menyelidik hal yang sebenarnya aku tau itu bukan urusanku, namun tetap berpura-pura konsentrasi penuh mendengarkan Dedy menjawab pertanyaan yang telah ku ajukan.
Salah satu dari mereka menarik perhatian ku, dasar memang lagi usil, ku lempar saja senyum pada keduanya, sambil berlagak manis mendengarkan penjelasan sang pimred yang bahkan aku pun tak tau apakah penjelasan yang diberikannya memang tepat atau malah melenceng jauh dari pertanyaan, entah lah, who’s care, toh aku juga Cuma menjadikannya alasan saja untuk memuaskan rasa penasaranku pada kedua orang asing yang berdiri tak jauh dari tempat ku mengobrol.
Akhirnya setelah melakukan usaha yang begitu rumit, ku tau kalau mereka adalah teman dari Yudha, orang yang ku bilang teman sekelas ku itu. Tapi aku tak sempat tau, apa yang sedang mereka lakukan disini karena Nunu’, Dian, Hilda, dan Dewi sudah menarik ku, mengajak keluar ruangan. Tak ada kuliah kalkulus hari ini, dosen sedang ada rapat, begitu katanya. Menyaingi anggota DPR saja para dosen ini, mengadakan rapat, yang menjadi lebih penting dari memberikan kuliah pada mahasiswanya, apa mereka tak ingat tugasnya sebagai dosen bukan anggota DPR.
Terbesit di pikiran ku, ”Seandainya aku punya sedikit waktu lagi, pasti aku sudah berkenalan dengan kedua orang asing itu, sekaligus membuat obrolan ringan, dengan begitu aku bisa punya harapan, kenal bahkan berteman dengan orang yang telah menarik perhatianku tadi!” Hh... sudah lah! Pikiran itu hilang seketika saat Dian mengajak makan bakso di kantin dekat perpustakaan, kebetulan sekali, aku juga lapar.
Hari yang melelah kan, dari kampus kemuadian pulang ke kosan juga harus dengan berjalan kaki, mau bagaimana lagi. Untung saja jarak rumah kos dan kampus ku tidak terlampau jauh, lumayan lah untuk olahraga sekalian merontokkan lemak-lemak yang mulai berjejalan di tubuh ku.
Sedang belum jauh aku berjalan sendiri meninggalkan kampus tercinta, handphone yang berada dalam tas ku berbuyi. +681315783xxx nomer tak dikenal, namanya pun tak muncul di layar. Tanpa pikir panjang langsung ku angkat.
”hallo!!!” suara berat ku dengar dari seberang.
”iya, hallo??!!” sahut ku sembari penasaran.
”ini Dani ya???”
”iya, ini siapa??”
Bla...bla...bla...

Percakapan di telephone berlanjut lama, sampai tak terasa aku sudah berdiri di depan kamar kos ku, mulai mencari kunci dalam tas, dan membuka pintu kemudian membaringkan tubuh yang kelelahan di atas kasur, meskipun tak se-empuk kasur di rumah, tapi cukup membantu meredakan penat yang bersarang di badan.
Intinya, orang yang menelephone dari nomer tak dikenal itu, ingin mampir ke rumah kos ku untuk sekedar berkenalan dan berbincang-bincang sejenak. Awalnya aku ragu-ragu untuk meng-iya-kan, tapi karena penasaran, ya sudah lah.
Handphone ku berbunyi. Nada SMS bersenandung di telinga. Ku baca sambil ikut bernyanyi, dari nomer tak di kenal itu lagi, dia mengatakan sudah tiba di depan halaman kosan. Datang sesuai waktu yang telah ia janjikan, sehabis magrib menjelang petang.
Keluar kamar dan ku berdiri di mulut pagar dengan banyak pertanyaan besar. Dua orang kemudian terlihat turun dari atas motor. Ku perhatikan sejenak, mencoba mengingat dimana aku pernah melihat wajah-wajah asing mereka. Dengan senyum ku sambut kedatangan keduanya, lalu bertanya siapa dan yang mana diantara mereka yang telah menelephone ku, namun hanya terjawab dengan canda dan tawa membahana. Hhh... biarkan saja ku ikuti permainannya.
Mempersilahkan mereka duduk di kursi rotan depan kamar yang masih masuk dalam wilayah teritorial teras untuk menerima tamu. Kami berbincang tentang banyak hal dan tanpa keseriusan, hanya canda dan tawa yang terdengar, tapi cukup menyiratkan banyak arti dan kesan. Karena dari pembicaraan itu aku tau ternyata mereka adalah dua orang asing yang tadi ku lihat di kampus, teman dari teman sekelasku, Yudha. Dan ku tau juga namanya Surya.
Begitulah pertama kali ku mengenalnya. Tanpa diminta dan tanpa direncana, hanya beralaskan kebetulan saja. Namun dari sana lah kemudian aku dan dia punya cerita.
Setelah itu kami tak pernah bertemu lagi karena memang kondisi yang menghendaki. Meski masih berada dalam waktu yang sama, tapi berada dalam ruang, tempat, dan kesibukan yang berbeda.
Sesekali dia menghubungiku lewat telephone dan SMS juga tentunya. Tak begitu sering, namun cukup memberiku banyak informasi untuk lebih mengenalnya. Dia yang sangat yakin dan bersemangat akan cita-citanya, selalu punya banyak rencana dan tau harus bagaimana jika kegagalan manyapa. Dia yang masih sedikit kolokan dan kekanak-kanakan dalam kepolosannya, pandai mngendalikam suasana dan perasaan orang lain, namun kurang cakap pada dirinya sendiri. Seorang pemimpi yang percaya dapat menembus dimensi. Ku rasa dia orang yang cerdas, kenapa?? Karena dia telah berhasil membuat ku terkesan dengan tidak berlebihan.
Hal itu membuat ku secara tak sadar terlibat hubungan emosional dengannya, rasa kagum dan penasaran ditambah sikapnya yang secara terang-terangan mendekatiku membuat segalanya terasa berbeda. Dia tak hanya sekedar menawarkan pertemanan biasa, dan perasaan ku pun menyambutnya demgam tangan terbuka.
Entah lah, padahal baru dua kali kami bertemu, aneh, perasaan itu memang aneh, tak sanggup terdeskripsikan. Aku tau dia sayang, karena berulang kali telah dikatakannya pada ku. Dan kejujuran itu bisa dihargai.
Aku bukan tipe orang yang mudah percaya, pada kata sekedar kata, semua orang juga bisa bilang kan?? Namun suatu ketika, di tengah kesibukannya, dia datang, menemuiku untuk mencoba menyakinkan bahwa ucapanya lebih dari sekedar omong kosong. Kali ketiga aku bertemu lagi dengannya, setelah sekian lama.
Tak banyak yang dibicarakan, karena kesempatannya pun hanya sebentar. Dia harus kembali pergi, melanjutkan pendidikan kemiliterannya. Meski tak banyak kata yang terlontar, tapi aku yakin kami bisa saling mengerti, memahami gejolak hati masing-masing. Sampai saat ku lepas lagi dia dari penglihatanku, pergi lagi dari sisi ku, berat, namun harus tetap ku ikhlas kan. Itu lah dia sekarang, dan aku akan selalu mendukung, meski tak disampingnya, akan terus ada dalam tiap bisikan doa.
Sejak itu ku putuskan untuk mencoba percaya dan menunggunya saja, mencoba mengerti dan memahami dia dengan apa adanya, tentang bagaimana dia, tentang profesi kemiliteran yang mulai ia geluti. Karena aku hanya ingin jadi penyejuk di saat ia gerah. Pelepas dahaga di kala ia haus, dan penyemangat yang setia di waktu dia jatuh dan mulai dilanda putus asa.
Just it, aku tak kan menuntut apa-apa, sebab tau hidupnya sudah penuh akan tuntutan. Tak kan membatasi apa-apa, karena paham banyak batasan yang harus dijaganya. Aku hanya ingin melihatnya nyaman dan bahagia.
Karena tau tak banyak yang bisa aku berikan. Tau kah, terkadang aku merasa diri ini tak pantas untuknya. Dia terlalu punya banyak kelebihan, sedang aku hanya seorang wanita dengan penuh kesederhanaan dari seluruh segi kehidupan.
Dan selalu percaya Tuhan. Sebab percaya Dia akan berikan yang terbaik untuk semua umat-Nya. Tuhan tau mana-mana yang baik dan mana-mana yang buruk, aku pasti yakin pada takdirnya.
Sekarang, jangankan kamu, aku pun tak tau bagaimana akhir dari kisah penantian panjangku ini. Hm... biarlah takdir Tuhan dan sang waktu yang akan menjawabnya, aku tinggal menunggu saja. (^_^)
balum selesai sampai disini, selanjutnya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
;